Sabtu, 14 September 2013

Menanti Satu Wajah

“ Seharusnya aku tidak memaksakan kamu untuk tetap berada disini, sakit bila harus melihatmu terus saja memikirkannya”

Sinar lampu gedung hotel Amaris menerangi pantai, gemuruh ombak kecil membuat susana semakin hidup karna sejak tadi aku hanya mampu terdiam dan melihatnya tak bicara satu kata pun

“sudah larut malam, aku ingin pulang” pinta ku lirih ,,

“Baiklah,,, “sambil membalikan tubuhnya dan menghampiri mobil yang bertepi di trotoar tepat dibawah sinar lampu jalan.

“kau sedang memikirkan apa? “ melihat kekasih yang kini hanya termenung .

Tak ada jawaban , hanya diam, begitu rapat dia menyimpan kegaduhan hatinya, sampai tak bisa berbagi cerita dengan ku. Kembali lagi aku bicara, hingga kini yang aku ucapkan diluar keinginan ku.

“Baiklah,, aku tidak akan pernah memaksakan kamu untuk tetap ada disampingku, berusaha mencintaiku, ternyata yang kamu rasa bukan cinta. Aku melepaskan kamu saat ini, membiarkan kamu dengannya, dia yang tak aku kenal, semoga kamu bisa merasakan cinta “

Itulah kalimat terakhir yang aku ucapkan , dan aku tau dia bahagia saat aku ucapkan seperti itu, tak ada tanggapan sedikit pun dengan semua ucapan ku, membuktikan bahwa kini memang tak ada lagi yang harus dipertahankan. Jalan yang lengan membuat aku rasanya sendiri, berada dalam satu ruangan bersama orang yang kini aku anggap asing, “aku tidak boleh lemah”  coba menyemangatkan diri.  Mobil yang kini tepat berhenti di depan rumah ku,tanpa bicara segera ku buka pintu mobil silver dan mulai mengambil langkah seribu untuk meninggalkan dia . Mobil silver elegan itu pun membelah jalan yang kini di basahi hujan.

Dia menghilang begitu saja,,,

***
 Aku hanya mampu memandangi setiap foto yang mengiasi dinding ku ,namun itu dulu. Saat ini jika aku melihat kenangan itu, tawa itu, senyuman itu, semuanya adalah yang selalu membuat aku bisa bertahan dengannya dan kini kesedihan yang aku rasa.

“hati yang akhirnya berbicara untuk memiliki mu, kenyamanan yang membuat ku sayang akan dirimu” aku hanya membalas dengan senyuman,mengartikan bahwa aku ingin ini semua

Sepenggal kata yang terlontar, suasana saung yang tenang dan sangat terasa hidup , yang saat itu memang hanya suara dia yang terdengar jelas ditelinga ku. Menjadi kekasihmu kini aku rasakan, bidik mata setiap yang melihat membuat aku seperti sosok sempurna dihidupnya. 

“aku tidak akan memaksakan kamu memilih ku, tapi yang aku tau saat ini aku mencintaimu “
Sontak aku berfikir, apa arti perkataan itu semua.

Dengan malu yang dalam, ku teguk satu gelas teh hangat , bersamaan aku telan matang-matang setiap perkataannya. Tak ada keraguan, dengan cepat dia raih tangan kanan ku dan mengurung dengan dua tangannya merasakan perasaan apa yang ada saat ini , aku mengartikan semua ada banyak kerinduan, kebohongan, dan cinta.

Semoga saja bukan keburukan yang ku dapat”

“Aku akan berusaha membuat kamu bahagia”

Dia mencoba membuat aku yakin, dan aku sambut dengan senyuman kalimat itu.

***
Sinar matahari senja kini menutupi hampir sebagian gedung perkantoran di sepanjang jalan barat, waktu jam pulang kantor sudah terlawat lima belas menit yang lalu, namun aku masih saja berdiri diatas gedung dan memandangi jalan raya yang padat akan kendaraan. Disana tepat jalan pintu masuk, aku selalu menunggunya untuk menjemputku.

“Maaf aku terlambat, aku harus melemburkan sebagian kerja ku sayang”

Walau letih yang kurasa, tapi setelah mendengar pernyataannya akan keterlambatan dia , aku bisa kembali mencetak senyum diwajah ku. Motor hitam kombinasi merah besar itu melaju dan menembus kemacetan kota Jakarta. Mengajak ku makan malam itu cara dia untuk membujuku kembali baik dengannya.
Sambil melihat jam yang melingkar ditangan kiri, tersadar kalau hari memang sepantasnya gelap. Dan hari ini tepat dua bulan aku tak melihatnya, dan harus terpaksa melihatnya lusa ini.

“Risa,, apa kamu tetap akan berada disini,, hampir semua karyawan sudah pulang”Aku hanya menjawabnya dengan senyuman.

“Aku prihatin dengan keadaan kamu yang seperti ini, biarkan Dimas bahagia dan kamu kembali 
dengan dirimu yang dulu,selalu tersenyum. Aku rindu kamu yang dulu Ris”

“Impianku hilang hanya karna dia tak mampu mempertahankan hubungan ini” sambil meremas kerasa kertas yang ada di genggaman tangan kanan.

“Ini bukan bertahan atau siapa yang mempertahankan, tapi ini takdir yang dia pilih.

“Memang salah jika aku tetap memilih takdir ku untuk berharap bersamanya?”

Tidak, sampai kamu tau apa yang hati mu saat ini rasakan”

***
“Tapi ini takdir yang dia pilih”

Mengingat sepenggal kalimat itu menyadarkan aku seketika dia adalah orang yang menjauh tanpa alasan dengan ku. Pernikahan yang akan diresmikan satu hari lagi, apa mungkin aku kuat melihat mereka berbahagia, sedang aku saja masih belum mampu melupaknnya. Takan mampu aku melupakannya, semua perhatiannya saja masih jelas melekat diraut wajahnya.Aku pandangi jelas setiap benda kenangan berharga darinya, satu yang begitu menarik perhatian aku, kotak musik yang bagian badan kirinya pecah karna kejadian itu.

Malam itu hujan memang cukup deras, tapi tak mengurungkan niatnya untuk memberiku satu hadiah kecil, karna keterlambatannya yang selalu saja jadi rutinitas. Kotak musik menjadi pilihannya untuk menghibur ku, warna coklat dengan sepasang kekasih , begitu manis.

“Sayang, maaf kemarin aku tidak bisa menemui mu” aku hanya diam

“oh iya,, ini kotak musik kecil, aku melihatnya di toko antik, maaf kalau hanya ini yang bisa aku kasih ke kamu “

Tanpa berfikir panjang dan hati yang sudah dipenuhi kecemburuan, kecurigaan, kemarahan, segera ku hempaskan tangannya yang sejak tadi memgang kotak musik itu. Bagian kiri kotak musik itu terpaksa retak karna keegoisan ku.

Kembali pada pandangan setiap bentuk kotak musik itu, “maafkan aku Dimas” rintih ku sambil menggengam erat kotak musik kecil tua itu. Jelas saja kau pergi meninggalkan ku, karna keegoisan. Ini sudah takdir mu , kan ku cari takdir ku sendiri mungkin bukan engkau tapi nanti kan ada saatnya. Seperti laci kecil di bagian dudukan kotak musik, tak pernah tersadar ternyata itu tempat aksesoris, namun saat ku buka selembar kertas terlipat rapih yang memang pasti sudah enam bulan berada di dalam sana.

“Risa sayang,, mungkin aku tidak akan pernah sanggup mengatakan ini langsung kepada mu, sengaja aku letakan yang tak mungkin kamu tersadar, tapi keyakinan ku akan dirimu mengatakan pasti kau akan melihat surat ini juga. Sudah hampir tiga tahun aku memiliki tumor ganas di bagian otak, aku tak sanggup menceritakan ini semua kepada mu, cukup melihat wajah mu tersenyum sudah mampu membuat aku sehat. Maafkan aku jika keegoisan ku , keterlambatan ku, semua itu karna aku harus mengikuti chemotherapy. Aku tidak ingin kau menangisi dan membasahi surat ini, kau tau begitu sulit aku merangkai kata-kata agar kamu tidak lagi marah kepada ku, Maafkan aku yang harus membuat kamu tau hal ini, karna yang aku ingini hanya menati satu wajah dari mu , yaitu senyuman ikhlas melepas aku pergi. Mungkin aku akan pergi jauh , tapi ingat kamu selalu ada dihatiku Risa. You My Dear Risa, jari kelingkingku sudah terikat oleh jari mu,dan aku akan selalu dengan mu” 

Tanpa berfikir ku ambil handphone dan ku pilih satu nama, Mama Dimas , segera ku menghubungi beliau.

“Mama kenapa selama ini semua menutupi penyakit Diamas dari aku, sekarg dimas dirawat dimana ma..” isak tangis yang begitu deras membuat Mama membiarkan Risa dating ke rumah sakit.

***
Tak lagi mempedulikan kebohongan yang diucapkan Dimas, wanita yang diceritakan bersamannya, dia mencintai wanita lain, bahkan undangan pernikahan yang palsu itu ku biarkan berlalu, tujuan hanya satu, hanya ingin melihat aku bahagia. Melihat dia terbaring lemah, aku hanya mampu terdiam, mengingat semua kesalahan aku. Begitu egoisnya aku, dua tahun menjalin hubungan, bahkan aku tak tau penyakitnya. Kecurigaan yang tak beralasan selalu minipahkan kesalahan hanya kepada mu, perhatian mu aku buang sia-sia, hanya karna alasan keterlambatan mu.

“sayang,, maafkan aku , terlalu egois sampai aku tak bias melihat ketulusan mu, kecurigaan ku yang selalu mentutmu bersalah.”

Sambil ku genggam erat tangannya yang kini sudah tak lagi seperti pertama dulu, dingin merajuti seluruh tubuhnya.

“Risa sayang,,aku sudah memaafkan mu, aku hanya ingin melihatmu tersenyum saat kamu melepas kepergian ku”
sambil tertatih dan aku tak menyangka itu kalimat sayang yang terakhir harus kudengar,hingga akhirnya kubacakan dua kalimat syhadat di telingannya. Akhirnya genggaman tangan ku harus lepas, Dimas kini tak ada disisiku, namun aku yakin hati mu selalu disini, bersama ku.

***
Aku menyesal harus mengetahui diakhir, hanya beberapa menit terakhir, inikah jawaban dari setiap teka-teki mu, mencintaiku penuh dengan pertanyaan, dan akhirnya jawaban mu adalah rela menjauh selama-lamanya abadi disana, dan tak ada lagi keraguan. Bukan ini jalan yang aku mau, tapi ini takdir kita. Menanti mu dalam satu wajah yang indah, aku bersyukur aku diberikan kesempatan untuk bias merasakan kasih sayangmu. Satu hal yang baru kusadari, ternyata itu jawaban dari semua pertanyaan ku. Dan aku memilih takdir ku untuk tetap memikirkan mu, dan takkan pernah pudar.